Nasib Dr. Priguna Anugerah: Tersangka Kasus Lecehan, STR Dicabut
Duwansaja Takdir yang dialami oleh dokter Priguna Anugerah Pratama, seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Univeristas Padjadjaran (Unpad), setelah mengolok-olok anak perempuan dari salah satu pasiennya di Bandung.
Priguna Anugerah Pratama ditetapkan sebagai tersangka kasus perkosa yang menargetkan anak dari seorang pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Berdasarkan laporan pengecekan, tersangka dicurigai mengidap gangguan perilaku seksual.
Kepala Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jawa Barat, Kombes Surawan, menyatakan bahwa Priguna Anugerah Pratama dicurigai memiliki gangguan perilaku seksual.
Itu diduga menjadi alasan Priguna berani melancarkan tindakan pemerkosaan tersebut.
Hasil temuan tersebut mengacu pada penelusuran yang telah dikerjakan kepolisian dalam beberapa hari belakangan.
"Dalam laporan pengecekan, terdapat indikasi bahwa tersangka memiliki sedikit ketidaknormalan dalam hal orientasi seksual," kata Surawan, sebagaimana dilaporkan oleh Tribun Jabar.
Kepolisian Daerah Jawa Barat saat ini sedang bekerja sama dengan beberapa pihak guna menyelidiki lebih jauh tentang adanya kemungkinan anomali itu. Hal ini mencakup menggandeng pakar serta psikolog dalam prosesnya.
"Temuan tersebut akan kita perkokoh dengan menerapkan analisis psikologi forensik, bersama-sama dengan masukan dari pakar-pakar dan psikolog. Ini sangat diperlukan guna menguatkan bukti tentang adanya cenderung gangguan perilaku seksual," jelasnya.
Rumah Sakit Jiwa Negara Cabut STR Setelah Anggota Polisi Serangan Keluarga Pasien
Bukan hanya dijadikan sebagai tersangka, STR juga dicabut setelah ia melakukan perampokan terhadap keluarga pasien RSHS.
STR yang diterapkan pada dokter bertujuan agar mereka dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik tanto di klinik maupun rumah sakit.
Instruksi itu datang dari Kementerian Kesehatan yang menuntut agar Konsil Kedokteran Indonesia secepatnya mencabut STR Priyugo Anung Raharjo.
"Dalam upaya tegas pertama ini, Kementerian Kesehatan telah menginstruksikan pada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) agar secepatnya menarik Surat Tanda Registrasi (STR) milik dr PAP," ujar Aji Muhawarman, kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik di Kemenkes RI, seperti dilaporkan oleh Kompas.com saat menerima pernyataan resminya pada hari Rabu, 9 April 2025.
"Pencabutan STR secara otomatis akan mencabut Surat Izin Praktik (SIP) bagi dokter di PAP," katanya.
Aji mengungkapkan bahwa timnya juga merasa sangat prihatin dan mengecam situasi yang dialami oleh keluarga pasien di RSHS.
"Pihak Kementerian Kesehatan sangat miris dan berduka atas terjadinya insiden dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh PAP," katanya.
Karena tengah menghadapi tindakan hukum karena perbuatannya, posisi Priguna sebagai mahasiswa dokter spesialis Unpad di RSHS Bandung pun sudah ditarik kembali.
"Yang bersangkutan saat ini telah diserahkan kembali kepada Unpad dan dihentikan statusnya sebagai mahasiswa, selain itu juga sedang menjalani proses hukum dari Polda Jawa Barat," jelas Aji.
Kronologi Kejadian
Pada Senin (17/3/2025), merupakan hari yang sangat mengguncang bagi seorang wanita yang sedang menantikan berita tentang kehidupan atau kematian keluarganya di sebuah ruang di Departemen Gawat Darurat Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Beberapa hari belakangan ini, keadaan keluarganya semakin memburuk. Terutama pada Senin malam, kesehatannya mengalami penurunan yang signifikan.
Ketika berharap keajaiban itu muncul, yang datang justru Priguna Anugrah Pratama (31). Priguna adalah dokter yang saat itu berjaga di ruang IGD.
Priguna tercatat sebagai mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Jurusan Anestesi. Lelaki asal Pontianak, Kalimantan Barat, itu tengah menempuh PPDS di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Priguna kemudian mengungkapkan bahwa keadaan pasien sedang sangat kritis. Karenanya, diperlukan sumbangan darah secara cepat guna menolong nyawa si pasien.
Tidak mau membuang waktu, korbannya rela menjadi pendonor. Sejauh ini, tak seorang pun mengetahui skenario apa yang sedang dimainkan oleh Priguna.
Priguna kemudian meminta korban melakukan tes crossmatch. Tes ini bertujuan untuk mencari kesesuaian pada golongan darah sebelum diberikan transfusi kepada penerima.
Proses tersebut, menurut Priguna, akan berlangsung di Ruangan 711 pada lantai tujuh gedung MCHC. Sebenarnya, gedung MCHC tidak dirancang untuk melakukan crossmatch.
Ruang tersebut digunakan sebagai fasilitas layanan kesehatan bagi wanita hamil dan balita. Pada saat itu, tepatnya tanggal 18 Maret 2025 sekitar pukul 01:00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB).
Setibanya di kamar tersebut, Priguna kemudian menyuruh korban untuk berpakaian ulang. Korban diperbolehkan hanya memakai pakaian bedah saja.
Tanpa memahami prosedur crossmatch, lengan si korban diberi infus. Kemudian Priguna menusuk jarum suntik ke dalam saluran infus untuk memberikan zat obat.
Baru-baru ini, obat tersebut bernama Midazolam. Secara cepat, korbannya kehilangan kesadarannya. Bahkan, korbannya tertidur selama tiga jam penuh.
Inilah saat Priguna melancarkan tindakannya yang kejam. Dia menyetubuhi korbannya.
Perilaku tersebut diyakini erat kaitannya dengan persiapan sebelumnya oleh tersangka. Bukti nyata adalah penggunaan kondom, yang telah disematkan dalam celana sang pelaku selama tindakan pemerkosaan terjadi.
Pada sekitar jam 04.00 WIB, korban mulai bangun. Dia mengalami pusing di kepalanya. Selain itu, tangannya dan alat kelaminnya juga terasa nyeri.
Akan tetapi, dengan tidak merasa bersalah, Priguna seolah-olah tidak mengetahui apa pun. Bahkan, Priguna membawa pulang korban untuk dikembalikan ke lokasi di mana pasien dirawat.
RSHS Buka Suara
Dalam pernyataan resmi yang diketuai, Universitas Padjadjaran (Unpad) serta Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) di Bandung sudah mendapatkan laporannya tentang kasus pelecehan seksual tersebut.
Dinyatakan bahwa tindakan pelecehan seksual terhadap anggota keluarga pasien tersebut terjadi di akhir Maret 2025 dalam lingkup fasilitas rumah sakit.
Unpad serta RSHS dengan tegas mengutuk semua jenis kekerasan, termasuk pelecehan seksual, yang berlangsung dalam ruang lingkup layanan medis maupun pendidikan akademik.
"Unpad dan RSHS bertekad menjaga proses ini secara ketat, adil, dan terbuka, sekaligus memastikan bahwa langkah-langkah yang dibutuhkan dilakukan guna menerapkan keadilan bagi para korban dan keluarganya serta membentuk lingkungan yang aman untuk setiap individu," demikian tertulis dalam pernyataan tersebut yang diterima pada Rabu (9/4/2025).
Unpad dan RSHS menanggapi dengan serius hal ini dan telah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membimbing korban saat melaporkan kasusnya ke Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar).
Pada saat ini, korban telah menerima dukungan dari Satuan Penanganan Wanita dan Anak (PPA) Polri di Polda Jawa Barat. Unpad serta Rumah Sakit Hasan Sadikin secara penuh mengambil bagian dalam mendukung investigasi yang dilakukan oleh Polda Jawa Barat.
2. Bersumpah untuk menjaga kerahasianan pribadi korban serta keluarganya.
3. Mengingat bahwa tersangka adalah seorang PPDS yang dipinjamkan ke RSHS dan bukan pegawai tetapnya, langkah tegas telah ditempuh Universitas Padjadjaran dengan mengakhiri statusnya dalam program PPDS tersebut.
Rektor Unpad Buka Suara
Rektor Universitas Padjadjaran, Professor Arief Sjamsulaksan Kartasasmita mengungkapkan bahwa institusi tersebut tidak akan mentolerir dugaan pelanggaran hukum oleh mahasiswa PPDS anestesi bernama awal PAP. Dia merasa sangat kecewa atas insiden yang telah terjadi.
Arief mengatakan bahwa Unpad akan segera melanjutkan dengan langkah-langkah untuk mencabut status kepesertaan belajar bagi pihak yang bersangkutan. Walaupun tidak ada vonis dari pengadilan, individu tersebut telah diduga serta dibuktikan sebagai pelaku tindakan kriminal.
"Sebagai institusi pendidikan, kami secara keseluruhan menolak adanya pelanggaran apapun, entah itu ditimbulkan oleh mahasiswanya saat bekerja, melakukan praktek, atau dalam lingkungan kampus Unpad," tegasnya.
Pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual semakin sering terjadi di area umum. Perlu adanya penegakan peraturan yang lebih kuat pada layanan kesehatan untuk mencegah insiden tersebut berulang kepada para korban.
Post a Comment