Header Ads

Duar... Senjata Rusia Hancurkan Pesawat Tempur Amerika F-16 Viper

Duwansaja.CO.ID, KIEV - Pertempuran antara Rusia dan Ukraina kini berubah menjadi arena uji kemampuan persenjatan gabungan NATO menghadapi militer bekas Uni Soviet. Dalam hal ini, peralatan militer Rusia telah menunjukkan efektivitasnya dengan berhasil merusak pesawat tempur modern F-16 Viper yang dimiliki oleh Ukraina.

F-16V (Viper), dikenal pula sebagai F-16 Block 70/72, merupakan versi teranyar dari pesawat perang multirole generasi keempat F-16 Fighting Falcon buatan Lockheed Martin. Kendaraan udara ini menyertakan fitur teknologi tinggi dalam paket pembaruan untuk memastikan operasionalnya yang efektif bersama-sama dengan pesawat tempur generasi kelima seperti F-35 dan F-22.

Pesawat ini mampu menyesuaikan tugas misinya saat terbang dan bisa menyamaratakan serta memantau sasarannya yang sukar dideteksi, menjadi aspek krusial pada berbagai jenis iklim. Selain itu, hal tersebut pun mengurangi beban biaya operasional bagi para operatornya.

Walaupun terus ditingkatkan, pada kenyataannya, F-16 Viper hanyalah sisa-sisa potongan-potongan saja yang tertinggal setelah diserang oleh artileri Rusia.

Ukraina telah memastikan bahwa satu lagi jet tempur F-16 mereka hilang saat beroperasi di area timur negeri ini. Ini merupakan kerugian kedua untuk jenis pesawat asal Amerika Serikat tersebut sejak mulainya konflik di Ukraine; yang pertama terjadi pada bulan Agustus tahun lalu. Sayangnya, insiden menyedihkan ini melibatkan kematian penerbang dari kedua belah sisi.

Komandan Angkatan Udara Ukraina (UAF) menyatakan dalam unggahan Facebook mereka tanggal 12 April bahwa seorang penerbang berusia 26 tahun bernama Pavlo Ivanov meninggal dunia ketika sedang melakukan misi pertempuran dengan menggunakan pesawat tempur F-16 Viper.

Presiden Volodymyr Zelenskyy pun telah membenarkan hilangnya itu, sementara pihak militer dikabarkan tengah menyiapkan laporan untuk menerangkan situasinya lebih lanjut.

Perlu dicatat bahwa baik pengumuman UAF maupun pidato Presiden Zelensky tidak mendetailkan posisi atau kondisinya ketika pesawat tersebut jatuh. Hal ini menimbulkan spekulasi tentang kemungkinan jet tempurnya dihantam rudal permukaan-ke-udara (SAM) yang dilancarkan Rusia ataukah diserang oleh pasukan mereka sendiri.

Ucapan duka cinta UAF menyebutkan: "Kepada keluarga Paul kami menyampaikan penghormatan terdalam. Dia gugur dalam perjuangan untuk membela tanah airnya dari pengepungan musuh... Sekarang, para penerbang F-16 tengah menjalani operasi militer di banyak daerah dengan situasi yang amat keras, memberantas serbuan udara lawan serta menyerang sasaran tentara musuh."

Zelenskyy pun membenarkan kematiannya Pavlov dan menegaskan bahwa Kyiv "perlu mendapatkan laporan dari tentara tentang kondisi peperangan ini... Kami sedang menganalisis setiap aspeknya."

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. - (AP Photo/Laurent Cipriani)

Ke dua klaim ini dengan jelas menutupi informasi detail yang menuju kejadian jatuhnya pesawat itu. Akan tetapi, beberapa blogger militer dari Rusia serta media seperti Top War menyebutkan bahwa pesawat tempurnya ditembak jatuh oleh sistem rudal permukaan-ke-udara (SAM) buatan Rusia.

Satu contoh dari rudal pertahanan udara buatan Rusia adalah S-300. Keluarga rudal ini termasuk dalam seri sistem anti-pesawat berjangkauan panjang yang didesain sebagai solusi permukaan-ke-udara. Diciptakan oleh perusahaan NPO Almaz bagi Angkatan Darat Soviet dengan tujuan melindungi wilayah mereka terhadap ancaman serangan udara serta misil jelajah.

Sistem ini dipakai oleh Rusia, Ukraina, serta negara-negara mantan Blok Timur lainnya termasuk Bulgaria dan Yunani. Selain itu, sistem tersebut juga diterapkan di Tiongkok, Iran, dan beberapa negara lain di kawasan Asia.

Sistem ini bersifat otomatis penuh, namun observasi serta operasi manual tetap dapat dilakukan. Setiap perangkat pendeteksian sasarannya memberikan informasi tentang objek yang dideteksi ke posisi markas utama. Markas mengoreksi data yang diperoleh dari alat-alat tersebut dan menyingkirkan tanda-tanda palsu. Pusat markas sendiri memiliki dua jenis sistem deteksi yakni aktif dan pasif terhadap sasaran. Peluru kendali mampu mencapai jarak maksimal 40 kilometer atau sekitar 25 mil dari lokasi pangkalan kontrol.

Pengganti dari S-300 adalah S-400 (dikenal sebagai SA-21 Growler oleh sistem penamaan NATO), yang resmi diluncurkan pada tanggal 28 April 2007.

Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat (AS) untuk Ukraina, Keith Kellogg, menyarankan pemisahan wilayah Ukraina sebagai upaya mengakhiri konflik yang terjadi. Ide ini mirip dengan situasi di Berlin setelah berakhirnya Perang Dunia II.
"Anda hampir dapat membuatnya tampak seperti apa yang terjadi dengan Berlin setelah Perang Dunia II, ketika Anda memiliki zona Rusia, zona Prancis, dan zona Inggris, zona AS," kata Kellogg dalam wawancaranya dengan surat kabar The Times, dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.
Kellogg menyatakan bahwa pasukan Britania Raya dan Perancis bisa menetapkan daerah penyanggahan di bagian Barat Ukraine, mendirikan apa yang dia namakan sebagai "pasukan kepastian" untuk mencegah resesi konflik militer. Di sisi lain, Rusia boleh memegang kendali atas area Timur Ukraine layaknya situasi saat ini sejak awal peperangan tersebut terjadi.
Kellogg menjelaskan bahwa tentara Ukraina akan terletak di antara satuan militer dari Eropa dan Rusia. Ia juga menyebutkan bahwa wilayah tanpa senjata mungkin bisa dilaksanakan sepanjang barisan pertahanan saat ini. "AS tidak berniat memberikan kontribusi apapun dalam bentuk pasukan darat," kata Kellogg.
Pada situasi yang dianalisis oleh Kellogg, pasukan yang dikendalikan oleh Inggris dan Prancis di bagian barat Sungai Dnieper takakan mengundang provokasi dari Rusia. Menurut pandangan Kellogg, Ukraina memiliki ruang yang cukup untuk menyimpan beberapa satuan militer yang bertujuan menerapkan gencatan senjata.
Pada bulan Maret yang lalu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyatakan bahwa adanya tentara dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), terlepas dari bendera atau perannya, di wilayah Ukraina adalah sebuah ancaman bagi negara mereka. Ia menggarisbawahi bahwa Moskow sama sekali tidak akan mentolerir hadirnya pasukan-pasukan itu dalam setiap situasi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.